Mari kita baca mengenai artikel Malas
Lebih sering Sehat dan berpangku tangan, menunda pekerjaan, bekerja tanpa ruh dan kesungguhan adalah gejala penyakit kaslaan,
malas. Dia hanya bersemangat dalam satu hal, yakni sesuatu yang sesuai
dengan selera nafsunya. Tapi sayang, nafsu itu cenderung kepada
keburukan (ammaratun bis suu’), atau paling tidak, menyenangi hal-hal yang sia-sia dan tidak bermanfaat. Berlawanan dengan nasyath
yang bermakna enerjik, rajin, dan beraktivitas dengan penuh
kesungguhan. Nasyath mengandung asumsi rajin dalam menunaikan hal-hal
yang mengandung dan atau mengundang maslahat.
Biang Kerugian Dunia dan Akhirat
Ibnu Hajar al-Asqalalani dalam Fathul Bari, mendefinisikan sifat malas,
اْلكَسْلُ تَرْكُ الشَّيْءِ مَعَ اْلقُدْرَةِ عَلَى اْلأَخْذِ فِي عَمَلِهِ
“Malas adalah meninggalkan sesuatu (yang baik) padahal ia mampu melakukannya.”
Sedangkan al-Aini, penulis Umdatul Qariy Syarh al-Bukhari, menjelaskan,
وَالْكَسْلُ هُوَ ضَعْفُ اْلهِمَّةِ وَإِيْثاَرُ الرَّاحَةِ لِلْبَدَنِ عَلَى التَّعَبِ
“Dan malas adalah lemahnya kemauan, lebih mengutamakan rehat daripada lelah bekerja.”
Dari definisi tersebut, telah tersirat
hasil buruk yang bakal diunduh oleh pemalas. Bahkan, karena buruknya
efek yang ditimbulkan sifat malas, Nabi menyuruh kita berlindung kepada
Allah dari sifat malas, sebagaimana yang telah penulis singgung di edisi
lalu.
Di mata sahabat Abdullah bin Mas’ud, tak
ada pemandangan yang lebih menyebalkan dari melihat orang malas. Beliau
berkata, “Tak ada yang lebih memberatkan pandangan mataku selain melihat
orang yang tidak bekerja untuk dunianya, tidak pula untuk akhiratnya.”
Sifat malas menjadi penghalang dari
banyak sekali maslahat, baik yang sifatnya duniawi maupun ukhrawi. Masa
depan pemalas suram di semua alam yang akan dilaluinya. Seberapa
kerugian yang ditimbulkan karena malas tergantung pada jenis
kemaslahatan yang ia malas dalam menjalaninya. Malas dalam menuntut ilmu
menyebabkan kebodohan, malas bekerja menghalangi datangnya rejeki,
malas ibadah menghalangi seseorang dari pahala dan keutamaan.
Tapi, rata-rata penyakit malas itu
menular. Malas dalam satu aktivitas, menyebabkan malas dalam aktivitas
yang lain. Bahkan penyakit ini bisa dengan mudah menular kepada orang
lain. Karena tabiat nafsu ingin berleha-leha dan gampang terpengaruh
melihat orang lain berleha-leha.
Penyesalan akibat malas tak hanya
diderita di dunia, orang-orang yang malas kelak akan menyesal, ulahnya
itu akan diserupakan dengan orang yang buruk rupa di dalam kubur, buruk
bajunya, busuk baunya, dan datang dengan membawa kabar buruk. Ia
berkata, “Aku adalah amalmu yang buruk, kamu dahulu berlambat-lambat
dalam ketaatan kepada Allah, namun rajin dan bergegas dalam bermaksiat
kepada Allah, Allah akan membalasmu dengan keburukan,” sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya.
Enyahkan Malas dari Kehidupan Kita
Kebiasaan malas banyak disebabkan oleh
lingkungan. Berteman dengan para pemalas, tinggal dalam keluarga dengan
kadar etos kerja yang rendah, atau karena biasa dimanjakan orangtua.
Kurangnya penghayatan terhadap pentingnya suatu tujuan juga menjadi
sebab hadirnya rasa malas. Begitupun dengan akibat buruk sifat malas
yang tidak diperhitungkan.
Jika kita ingin kebiasaan buruk ini enyah
dari kehidupan kita, hendaknya kita pikirkan akibat yang akan timbul di
kemudian hari. Seorang ahli bijak berkata, “Jika kamu tak turut menanam
benih saat orang lain menanamnya, niscaya kamu akan menyesal saat
melihat mereka panen.” Betapa banyak orang yang menyesal karena sifat
malas ini. Andai dahulu aku rajin menuntut ilmu, Andai dahulu aku mau
bekerja keras, Andai dahulu aku tak menyia-nyiakan masa mudaku, dan
penyesalan lain yang banyak dialami para pemalas.
Sedikit memaksa diri untuk berbuat, bisa
menjadi shock terapi dari kemalasan. Seorang salaf, Amru bin Qais
al-Mala’i berkata, “Jika sampai di hadapanmu suatu bentuk kebaikan, maka
kerjakanlah meskipun berat, niscaya kelak kamu akan senang
menjalaninya.”
Benarlah apa yang beliau katakan. Suatu
kemasalahatan, awalnya berat diterima oleh nafsu. Tapi kesungguhan dan
kemauan yang kuat, juga ketekunan dalam menjalaninya akan mengubahnya
menjadi sesuatu yang menyenangkan. Bahkan jika suatu kali terlewatkan
olehnya, ia akan merasa kecewa. Bukti dan kisah tentang hal ini bisa
Anda baca kembali di rubrik ini, yang berjudul ‘Menikmati Kesungguhan’.
Biasakan pula untuk bergerak cepat dalam
setiap aktivitas. Ada hikmah di balik kebiasaan Nabi yang biasa berjalan
dengan cepat. Dari Abu Hurairah berkata,
وَمَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَسْرَعَ فِي مِشْيَتِهِ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dan tidaklah aku melihat seorangpun yang jalannya lebih cepat dari Rasulullah.” (HR. Tirmidzi)
Banyak peneliti menyebutkan, bahwa
membiasakan berjalan cepat bisa meningkatkan etos kerja dalam semua
aktivitas. Ternyata, kebanyakan para ulama yang sukses dengan perolehan
ilmu di atas rata-rata juga memiliki kebiasaan cepat dalam berjalan.
Al-Hafizh Abu Isma’il al-Anshari menyebutkan, “Seorang pakar hadits
memiliki kebiasaan cepat dalam berjalan, cepat dalam menulis, dan cepat
dalam membaca.”
Berkaca pada kesuksesan orang-orang yang
bersemangat juga menjadi pemicu untuk bekerja keras. Renungkanlah etos
yang dimiliki oleh Ibnu Uqail Rahimahullah, di mana beliau berkata,
“Tidak aku halalkan diriku menyia-nyiakan sesaatpun dari umurku. Meski
nantinya lisanku tak bisa lagi untuk berdiskusi, mataku tak lagi mampu
untuk membaca, maka aku akan berdayakan seluruh pikiranku saat aku
berdiam diri dan hanya mampu berbaring di ranjang.”
Bagitulah, rehatnya jasad lantaran sakit
atau tua tak sedikitpun mengundang rasa malas untuk melakukan hal yang
bermanfaat. Seperti juga yang dialami Abu Yusuf, Ya’kub al-Anshari.
Ibrahim bin al-Jarah menjenguk beliau saat sakit. Begitu masuk, ia
dapatkan Abu Yusuf tengah pingsan karena sakitnya. Ketika bangun dan
melihat Ibrahim di sampingnya, beliau bertanya, “Wahai Ibrahim, maukah
kamu berdiskusi denganku tentang satu masalah?” “Dalam keadaan seperti
ini?” jawab Ibrahim. Abu Yusuf berkata, “Tidak apa-apa, kita belajar,
semoga kita sukses karenanya.” Lalu keduanya berdiskusi perihal
pelaksanaan haji. Sejurus kemudian, Ibrahim minta ijin undur diri. Tapi
belum lagi melewati pintu keluar, Abu Yusuf telah menghembuskan nafas
terakhir.
Tokoh yang lain, Waki’ bin al-Jarah,
salah satu guru Imam asy-Syafi’i tak hanya rajin menggunakan waktu
siangnya. Di waktu malam, beliau belum tidur sebelum menghabiskan bacaan
sepertiga al-Quran di hari itu. Setelah tidur sejenak, beliau bangun
untuk shalat malam, lalu istighfar hingga datang waktu fajar, lalu
beliau shalat. Beranikah kita mencobanya?!
#NB :Yah, sebenarnya malas itu bukanlah sesuatu yang buruk, karena terkadang ketika kita disibukan dengan rutinitas sekali-kali kita juga perlu malas-malasan agar tubuh kita bisa relaks. Tetapi hal ini bisa menjadi sangat berbahaya apabila kita ulang terus menerus yang akhirya akan menjadikan karakter yang melekat pada diri kita dan cuma akan menjadikan kita tidak berarti apa-apa didunia ini, setuju? So, wake up now!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar